Ibu adalah Madrasah Pertamaku


Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, belia berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.'” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548).


Rasulullah mengajarkan untuk berbakti kepada Ibu, tapi tidak semua Ibu memiliki kadar kasih sayang yang sama untuk anaknya. Aku anak pertama dari empat bersaudara. Orang bilang anak pertama memiliki kedekatan dengan Ibu, tapi tidak pada ku. Justru kedekatan emosional lebih terjalin dengan Ayah dibandingkan dengan Ibu. Kalian tahu kenapa ? Yaaa karena seorang Ibu adalah “pemaksa” terhadap anak-anaknya. Bagaimana tidak, sejak kecil Ibu menginginkan aku untuk bisa seperti anak orang lain, bisa ini, bisa itu dan segala hal yang bisa dilakukan anaka lain maka aku harus bisa. Berbeda dengan Ayah ku, dia orang yang memberikan aku kebebasan untuk menentukan karakter, hobi dan memberi kesempatan untuk menggali potensi ku.

Lagi-lagi ibu ingin aku seperti yang lain, misal saja ketika aku usia 3 tahun sudah dipaksa untuk bisa membaca Al-Quran. Beruntunglah di dekat rumah ku ada masjid yang selalu ramai dengan anak mengaji setiap sore. Aku adalah satu dari 40 anak yang belajar mengaji di tingkat Al-Quran. Seusia ku lainnya masih tingkat Iqra’, bahkan masih sedikit yang sudah Juz’amma. Paksaan dari Ibu membuat ku harus berteman dengan anak lebih tua dari seusia ku. Apakah kalian pernah membayangkan bagaimana psikis anak kedepannya ? Bagaikan kehilangan masa kecil dan bisa dibilang “keseso” dalam istlah Jawa yang artinya “mendahului”.

Selain “paksaan” untuk mengaji, di usia 5 tahun atau usia Taman Kanak-Kanak naik ke Sekolah Dasar, aku diharuskan bisa mencuci pakaian sendiri. Minimal baju kotor yang dikenakan sehari-hari. Sungguh, aku berfikiran bahwa Ibu adalah sosok yang “kejam” dan tidak punya hati terhadap anaknya. Harusnya di usia ku yang masih kecil itu, aku diberikan kebebasan bermain dengan teman sebaya ku. Hukuman jika aku membangkang perintah dan paksaan Ibu adalah cubitan. Yaaa cubitan di lengan, di paha bahkan “dijewer” telinga ku sampai merah. Tapi aku tidak pernah protes ketika mendapat hadiah cubitan hasil dari pembangkangan ku.

Tidak jarang Ibu juga banyak melarang ku melakukan hal-hal kesukaan ku. Bahkan, Ibu sering melarang ku setiap aku ingin bermain bersama teman ku, yang dbilang nanti kena batu, nanti jatuh, nanti terluka, nanti lecet lah, nanti nanti dan nanti yang lainnya. Namun, sebenarnya itulah bukti kasih asayang seorang Ibu terhadap anaknya. Dia tidak ingin anaknya terluka sedikitpun, tidak ingin anaknya disakiti, tidak ingin anaknya kalah dibandingkan dengan anak yang lain. Sikap “memaksa” yang diterapkan Ibu kepada ku membentuk sifat berbeda pada ku, aku tumbuh menjadi anak yang selalu ingin menjadi pemenang dan nomor satu. 

Berkat pemaksaan dari Ibu, banyak menimbulkan pembangkangan , perlawanan dan membuat ku membantah yang justru membuat ku semakin jauh dari kesadaran.  Selaras dengan teori Psikodinamik yang dicetuskan Sigmund Freud dan Erik Erikson yang menjelaskan mengenai hakikat serta perkembangan kepribadiaan sesorang, didalamnya terdapat unsur emosi, motivasi dan faktor yang lain. Freud dan Erik juga menjelaskan jika perkembangan kepribadian akan disebabkan oleh konflik yang kerap terjadi pada masa kanak-kanak, seorang akan terpengaruh dari masalah pada alam bawah sadar. Dan secara tidak langsung peristiwa yang terjadi di masa kanak-kanak akan mempengaruhi kehidupan di masa selanjutnya. 

Apakah kasih sayang Ibu terhadap anaknya harus diwujudkan dalam bentuk “pemaksaan” ? Tanpa disadari, banyak Ibu yang melakukan hal serupa terhadap anaknya. Tapi sesungguhnya itulah kasih sayang seorang Ibu yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata. Teriakannya ketika menyuruh kita pulang darii bermain sebagai isyarat cinta Ibu kepada kita anak-anaknya. Bagaimanapun Ibu, kita patut bersyukur dan tetap berbati kepada Ibu.

Ibu ku adalah satu diantara ibu yang lain dengan ciri khas “cerewet”. Sungguh aku menangis menuliskan ini dengan segala ingatan tentang Ibu dan aku di masa kecil ku. Julukan “manusia cerewet” memang pantas disandang oleh Ibu, tanpa pernah letih meneriaki kita, ngomel untuk hal-hal kecil, marah-marah dengan bergumam sendiri ketika rumah kita kotori saat bermain. Ibu ku memang tak pernah mengucapkan “Aku Sayang Kamu Anak Ku”, tak pernah, Hingga aku berusia 25 tahun pun tidak pernah Ibu ku mengucapkan kata “Sayang atau Cinta” pada ku. Tapi aku tau, dibalik sikapnya selama ini kepada ku, beliau ingin ucapkan kata itu namun “malu”.

Aaaah Ibu, Aku Sayang Kamu Ibu. Kau adalah orang yang pertama khawatir ketika ada luka ditubuh ku.Kau adalah orang pertama yang marah ketika ada orang meledek ku.Kau adalah orang pertama yang menangis ketika aku sedih.Kau adalah orang pertama yang akan khawatirkan ku ketika aku sakit.Kau adalah orang pertama yang merawat ku ketika tubuh ku rapuh.Kau adalah Madrasah pertama dalam hidup ku.Aku Sayang Kamu Ibu, Aku Ingin memiliki Hati Seteguh dan Sekuat Dirimu.Love You Ibu ...
*Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba yang diadakan oleh vemale.com 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Komunikasi Lintas Budaya (Makalah)

JENIS CITRA (Frank Jeffkins)

Cara Membuat Kerajinan Dari Tanah Liat