Cerpen "DOLENAN"

Dolenan

“Nduk Rahayu, kamu akan dapatkan pagi yang indah kalau kamu bisa bangun tepat saat ayam berkokok di waktu subuh”, begitu kata biyungku.

Indah benar negeri ku, indah benar desa ku, indahnya tanah kelahiran ku. Rumah yang sederhana dari bambu, rumah yang dihiasi dengan cinta dan kasih sayang keluarga ku. Bukan rumah yang dikelilingi dengan pagar besi tinggi, berdiri dengan kaca-kaca yang memantul saat terkena cahaya dan hidup yang terpisah dengan saudara juga kerabat disamping kanan kirinya. Rumah ku selalu terbuka untuk siapa saja yang ingin mampir bersilaturahim, itu rahasia keluraga ku agar tetap terjalin hubungan baik dengan tetangga dan kerabatku. Beda dengan orang-orang yang punya rumah dengan pagar tinggi, tanah telah ditutupi semen yang kuat sampai-sampai pergaulan pun dibatasi dengan orang yang setingkat dengannya saja.

Aku harus menghormati orang yang lebih tua dari ku seperti orang tua, kang mas dan mbak yu ku. Kalau berbicara dengan mereka, aku harus lembah, kalem, sopan, menunduk saat lewat didepannya, tidak menyuruh dengan semena-mena, tidak boleh mendahului saat mau makan dan harus mendahulukan yang tertua. Kebiasaan itu yang diterapkan di rumah ku hingga menjadi tradisi. Bukan rumah ku saja, lingkungan dan daerah sekitar ku juga menerapkan hal semacam itu. Kata biyung, ‘’ini adalah warisan simbah dari jaman dahulu, tidak boleh ditinggalkan maupun ditentang, nanti bisa kualat’’.

Mendengar kata kualat menjadikan aku dan teman-teman sepantaran ku harus patuh dan mengikutinya. Kalau biyung bilang seperti itu, berarti semua orang tua juga akan bilang seperti itu kepada anak-anak mereka. Tidak boleh menanyakan hal-hal yang menyinggung tradisi kami. Hal yang paling aku suka dalam ajaran tradisi kami adalah perempuan tidak boleh bangun setelah subuh, perempuan harus bangun sebelum subuh. Kata biyung, “kalau kamu bisa bangun sebelum ayam berkokok, sebelum adzan subuh, maka kamu akan mendapatkan rizki yang banyak, akan sehat selalu dan akan jadi orang pertama yang tau segalanya”. Sebenarnya aku masih bingung dengan apa yang dikatakan biyung, tapi memang benar karena kebiasaan ku bangun pagi sebelum adzan subuh maka aku bisa menghirup udara segar seperti pagi ini, dapat mendengarkan suara adzan dari mushola dekat rumah, dapat mendengar ayam berkokok  dan dapat melihat bagaimana matahari mulai muncul.

Bopo dan biyung ku adalah pribumi jawa yang patuh dengan ajaran budaya jawa. Bopo ku bernama Waris, itu nama pemberian dari simbah ku yang tak lain adalah romonya bopo ku. Nama itu mengandung banyak arti, yang aku ketahui nama itu adalah harapan simbah supaya bopo selalu mendapat waris terutama yang bisa bermanfaat bagi bopo dan keluarga. Biyung ku bernama Suratmi, nama itu disematkan pada biyung ku dari pemberian eyang buyut, karena eyang buyut biyung dulu merupakan gadis desa yang paling disegani dan paling cantik sekampung, nama itu diberikan pada biyung agar biyung bisa menjadi seperti eyang buyutnya.
Nama ku Rahayu. Nama yang sangat simpel pemberian kedua orangtua ku. Nama orang jawa tidak perlu panjang-panjang kata bopo, takut nanti pas beranjak mau belajar jalan keberatan dan akhirnya tidak bias jalan. Itu mitos kuno, namun ada baiknya juga karena saat penulisan nama di Ijazah tidak menghabiskan tempat di ijazahnya, begitu kata guru ku Pak Shobirin. Rahayu artinya selamat atau tentram. Orang tua ku memberikan nama ini karena saat akan melahirkan ku biyung sekarat, tidak seperti saat akan melahirkan kang mas dan mbak yu ku. Maka bopo berjanji kalau lahir anak perempuan akan diberi nama Rahayu biar selamat dan hidupnya tentram. Tapi kalau lahir bayi laki-laki maka akan diberi nama Slamet dengan harapan biar selamat terus hidup matinya. Akhirnya karena yang lahir adalah bayi perempuan, maka bopo memberi ku nama Rahayu.

Kang mas ku bernama Sugiyono dan Satrio, sedang mbak yu ku bernama Shinta. Nama-nama itu juga pemberian bopo ku. Bopo memberi nama kang mas ku Sugiyono karena bapak ingin kelak kang Sugiyono menjadi orang sugih alias kaya, sugih apa saja, sugih dunyo (harta), sugih ilmu lan sugih pangapuro. Kang mas ku yang kedua bernama Satrio karena bopo ingin kang  Satrio kuat seperti ksatria dan dapat melindungi keluarga. Yang selanjutnya mbak yu ku, Shinta. Mbak yu ku ini mewarisi kecantikan seperti putri keraton, karena saking cantiknya bopo memberi nama Shinta karena dalam pewayangan cerita Ramayana, shinta itu adalah perempuan cantik. Bopo ingin mbak yu ku Shinta tetap jadi perempuan cantik, bukan hanya parasnya namun hati dan kelakuannya juga. Nama-nama keluarga kami adalah doa dan sebuah motivasi, dan di dalam keluarga kami tidak diperbolehkan menyebut nama yang diganti dengan nama lain karena akan merubah doa yang ada pada nama kami.

Lingkungan kami adalah lingkungan yang selalu menjunjung tinggi adat jawa. Desa kami merupakan desa yang asri, penuh kenangan. Kesenian jawa menyatukan hubungan kami lebih dari sekedar kerabat. Teman-teman semasa kecil yang selalu riang gembira mengajak ku bermain permainan jawa dan yang kini mulai hilang perlahan karena kurang ada yang melestarikan.

Hayu, ayo dolenan sodor[1] (Hayu ayo bermain kucing-kucingan)”, ajak Ratmi tetangga rumah dan teman bermainku.

Iyo, enteni nang latar etan omah (ya, tunggu di lapangan timur rumah)”, sahutku.

Dengan sekejap teman-teman yang lain pun ikut berkumpul untuk main bersama. Tidak ada perbedaan antara teman yang satu dengan yang lain. Walaupun begitu, unggah-ungguh jawa tetap ada dan dihargai apalagi saat siang hari, kami harus berhenti bermain karena harus mengistirahatkan badan tidur siang sejenak. Salah satu yang aku sukai dari kebiasaan yang dilakukan orang jawa di daerah ku adalah tidur siang dan dilarang beraktivitas. Kebiasaan ini memiliki banyak manfaat nantinya, walau kadang-kadang teman sepermainan ku tetap nyolong untuk melanjutkan bermain.

Saat sore tiba, kami para perempuan harus sudah siap-siap untuk membersihkan diri dan membersihkan rumah lagi. Bagi para lelaki harus membantu bopo mereka untuk mengurus binatang ternak mereka. Saat adzan maghrib tiba, semua harus masuk rumah. Itu aturan yang ditaati hingga sekarang di desa kami. Mitosnya kalau maghrib-maghrib keluar nanti akan celaka karena waktu munculnya Sambi Kolo (Pembawa Celaka). Tanpa berpikir panjang dan mempertanyakan lebih lanjut (karena tidak boleh bertanya) maka kami harus percaya dan menaati aturan tadi. Selepas maghrib, kami bisa bermain lagi dengan lampu minyak yang dibawa dan diletakkan di pojok halaman. Kalau malam, aku sering main surigendem[2] dengan teman-teman. Masih teringat betul saat aku kalah dan harus mencari teman-teman yang bersembunyi hingga usai permainan. Ternyata mereka bersembunyi di rumah Tono. Aku menangis saat mengetahui mereka mempermainkanku dengan bersembunyi di belakang rumah Tono dengan makan singkong goreng buatan biyungnya Tono. Karena teman-teman tidak tega melihat ku menangis, akhirnya aku dikasih sepotong singkong goreng sisa mereka.

“Ayo dolenan maneh rek (Ayo main lagi)”, ajak ku.

“Iyo engko ae, iki iseh enek telo. Dibakar ae yok (Iya ntar aja, ini masih ada singkong. Dibakar aja yuk)”, usul Tono dengan mengandalkan panen singkong siang tadi.

“Yo wes ayo”, sahut teman-teman yang lain.

“Eh ngko dsek. Hompimpa[3] ae, seng kalah bakar telo ne. Piye ? (eh nanti dulu. Hompimpa aja, nanti yang kalah harus bakar singkong. Bagaimana ?)”, usul Gio.

“Yo, gelem aku. Ayok. (Iya, sepakat aku)”, jawab teman-teman lelaki ku.
Akhirnya kami pun melakukan hompimpa untuk memilih siapa yang harus bakar singkongnya. Setelah melakukan hompimpa, ternyata aku, Tono, Harto dan Susi satu kelompok dan kalah. Sebagai akibatnya kami harus membakar singkong untuk teman-teman yang lain. V3.doc


Dipublikasi dalam buku "Human Literacy"
PMII Humaniora Park
Rayon Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora


[1]Sodor adalah permainan dengan menggunakan lapangan yang diberi garis pembatas dengan bentuk kotak yang dibagi menjadi 6 atau 8 kotak, tergantung jumlah pemainnya. Yang kalah harus menjaga di setiap garis, dan yang menang akan berada di dalam kotak, dia harus meloloskan diri dan melewati seluruh kotak dari depan hingga belakang maka dia akan menang beserta seluruh kelompoknya.
[2]Surigendem adalah permainan petak umpat. Yang kalah harus menjaga tiang dengan hitungan 1 sampai 10, lalu dia harus mencari temannya yang sedang bersembunyi. Tempat sembunyi tidak boleh terlalu jauh dari tiang yang dijaga.
[3]Hompimpa adalah cara memilih kelompok dengan membolak-balik telapak tangan dan di iringi dengan lagu “hompimpa alaihum gambreng”. Di akhir lagu harus berhenti dengan posisi telapak tangan masing-masing. Maka apabila posisinya sama, dia yang sekelompok. Kemudian dilanjut dengan suit untuk menunjuk yang kalah dan yang menang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Komunikasi Lintas Budaya (Makalah)

JENIS CITRA (Frank Jeffkins)

Cara Membuat Kerajinan Dari Tanah Liat