Etika, CSR dan Perilaku Perusahaan

Etika, CSR dan Perilaku Perusahaan

Selama empat dekade di Inggris, perekonomian pasar dikendalikan oleh pilihan konsumen dan kapasitas pembelian konsumen, tingkat perekonomian yang semakin mewah menawarkan sebuah peluang untuk menganalisa dan menggambarkan sifat dasar dan arah dari sistem permintaan di pasar. Ada beberapa syarat peningkatan informasi dalam lingkungan sosial dan dampak lingkungan dari kebijakan perusahaan dan efek dari penilaiannya. Berbagai gerakan dalam makanan sehat, investasi etika, dan lebih dari itu kepedulian terhadap lingkungan telah memainkan peranan penting dalam membangkitkan kesadaran masyarakat sosial.

Proses yang mayoritas berkembang di negara barat ini banyak menuai pertanyaan dari generasi baru penerus perusahaan. Apakah kita bisa terus seperti ini? Apakah ini dapat berkelanjutan? Apakah seluruh sistem ini cacat dan mampu merusak kegiatan perusahaan? Pertanyaan – pertanyaan ini muncul tidak hanya dari kelompok – kelompok yang berkaitan, namun juga individu, pengusaha – pengusaha, pemerintah dan institusi global.
Adams (1992:  106-7)
1 Pendahuluan
Dalam dunia bisnis, etika bukanlah hal baru. Perusahaan di dunia selalu memiliki sebuah aturan, standar, dan norma tertentu dalam menjalankan bisnisnya. Akan tetapi hal ini perlahan – lahan berubah sesuai dengan keadaan sosial dan budaya di tiap negara, walaupun tentunya masih ada aturan secara universal. Ketika perusahaan menerapkan standar atau norma ini sebagai bagian dari tanggung jawab maka kita dapat menyebutnya sebagai kode etis dari perilaku bisnis. Selain itu, etika juga tidak bisa lepas dari bagian tanggung jawab bisnis. Perilaku perusahaan harusnya etis dan bertanggung jawab, inilah sebabnya kenapa perusahaan menjanjikan kepada para pemegang sahamnya dan para pemegang kepentingannya agar bersikap adil, etis, dan sewajarnya.
2 Apa itu Etika? Kenapa harus ada Etika?
Etika memperlihatkan bagaimana seharusnya perusahaan untuk bersikap tepat pada setiap bisnisnya dan juga kegiatannya. Namun, etika bisnis merupakan sebuah konflik kepentingan karena pada dasarnya bisnis bertujuan untuk meningkatkan profit yang nantinya akan digunakan untuk menghadapi isu – isu yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial dan layanan sosial. Etika mampu menjadi sebuah aturan untuk melihat baik atau buruk, dan mana yang tepat atau tidak untuk publik. Dengan kata lain, etika adalah nilai dalam manusia berinteraksi dan merupakan sebuah kualitas juga esensi dasar dari sebuah kebaikan maupun keburukan. Nilai – nilai seperti kejujuran, rasa hormat, dan percaya diri merupakan nilai yang telah secara umum diketahui batasannya. Etika juga dapat didefinisikan sebagai prinsip dasar dan juga kegiatan dalam meningkatkan derajat kemanusiaan seseorang.

Etika merupakan proses yang natural dan struktural dari sebuah pembentukan anggapan moral , standar, dan juga aturan dari seseorang. Bila dilihat secara subyektif dan konkrit, etika bisnis dapat diartikan dengan berbagai pendekatan dan berbagai sudut pandang keilmuan. Tentunya sangatlah sulit untuk mendefinisikan etika dan mengidentifikasi batasan maupun kriterianya. Maka dari itu, ada beberapa kesulitan dalam membahas konsep ini dalam sebuah kajian literatur, karena bisnis dapat dilihat dari berbagai aspek, dari kehidupan bisnis, dari tingkatan bisnis, dan juga dari kehidupan manusianya. Hal ini bergantung pada apa, bagaimana, seberapa banyak,dan untuk siapa etika itu atau harus seperti apa etika itu. Tidak selalu mudah dalam menjawab pertanyaan ini (Aras 2006).

Sebuah bisnis yang tidak menghormati kriteria etika yang ada dan gagal dalam melakukan sebuah pengembangan, akan mengganggu integritas dan persatuan dari  perusahaan. Seperti misalnya lemahnya kapasitas perusahaan untuk meraih tujuannya, dan hal ini akan mengarahkan perusahaan pada konflik internal maupun eksternal. Etika bisnis merupakan represntasi dari sebuah hubungan yang dilakukan oleh pebisnis dan hal ini haruslah jujur, saling menghormati, dan berperilaku adil (Aras, 2006). Hal ini juga dikatakan oleh Milton Friedman (1962) bahwa sebuah bisnis tidak selayaknya menyerahkan tanggung jawabnya pada kelompok tertentu karena tanggung jawab tersebut adalah milik pemegang saham. Lebih lanjut Friedman mengatakan bahwa seorang pebisnis tidaklah diijinkan secara legal maupun moral untuk menyerahkan begitu saja atau bahkan membuang tanggung jawab dari perusahaan (Joyner & Payne, 2002). Milton Friedman juga berpendapat bahwa hanya ada satu tanggung jawab sosial dari sebuah bisnis, yaitu menggunakan bahan baku yang ada kemudian menggunakannya dalam berbagai aktifitas yang didesain untuk meningkatkan profit perusahaan... penggunaannya secara terbuka dan bebas dalam berkompetisi tanpa adanya penipuan atau kecurangan (Friedman, 1962).

Oleh karena itu, perilaku etika dan perilaku bisnis dapat berdampak tidak hanya pada pemangku kepentingan dan para pemegang saham, namun juga berpengaruh pada keseluruhan ekonomi. Apabila kita dapat bersikap secara etis dalam pengambilan keputusan pada saat berbisnis, ini akan meyakinkan kita bahwa apa yang kita ambil akan lebih efektif dan produktif dalam pemanfaatnya sumber daya ekonomi.
3 Filosofi Etika
Etika bagaimanapun juga masih belum ada keputusan absolut mengenai apa saja yang merupakan perilaku etis maupun tidak etis. Oleh karena itu, kita perlu mempertimbangkan posisi etis masing – masing sebagai dasar untuk melihat apa saja yang termasuk dalam perilaku etis. Terdapat beberapa pandangan mengenai etika, yaitu deontological ethics dan teleological ethics, dan dengan ethical relativism juga dengan ethical objectivism, hal ini mewakili area yang sering diperdebatkan dan menjadi sebuah pendirian dalam filosofi etika.

3.1 Deontological Ethics
Berdasarkan deontologists ada beberapa  aksi yang mengarahkan pada benar atau salah sehingga dapat menjadi sebuah standar absolut mengenai etika yang harus ditegakkan. Namun masalahnya, deontological ethics fokus pada bagaimana kita tahu mana yang salah dan bagaimana kita membedakan antara kesalahan dengan sebuah kelalaian. Seorang filsuf bernama Nagel membantah bawah terdapat gagasan yang mendasari hak kita, yang memaksa apa yang kita lakukan, walaupun mungkin ini masih mengesampingkan keadaan tertentu.
3.2 Teleological Ethics
Teori teleological membedakan antara ‘kebaikan’ dan ‘kebenaran’, bahwa ‘kebaikan’ mencakup hal – hal yang mampu memaksimalkan ‘kebenaran’. Dengan demikian, hal ini dapat menentukan apa saja yang baik dibandingkan dengan input nya dalam rangka menentukan standar etis. Pandangan ini diperkenalkan oleh Rawls dalam “ A Theory of Justice”. Dalam pandangan ini, kewajiban kita adalah untuk mempertimbangkan beberapa akhir, dan prinsip – prinsip mengenai benar dan salah mengatur juga menunjukkan upaya kita kearah akhir tersebut.
3.3 Utilitarianism
Utilitarianism berdasar pada premis mengenai hal – hal yang menentukan apa saja yang baik dan bagaimana masyarakat menerima kebenaran mutlak melalui seseorang yang mengejar keinginan pribadinya. Para filsuf mengatakan bahwa kumpulan dari keingin pribadi ini secara otomatis akan mengarah pada kebaikan bagi masyarakat secara luas. Beberapa utilitarian telah mengembangkan teori ini untuk menyarankan bahwa ada aturan bagi pemerintah untuk melakukan  mediasi antara kegiatan individu yang dapat dipertemukan secara komunal sesuai kebutuhannya masing – masing.

3.4 Ethical Relativism
Para penganut paham ini menyangkal bahwa terdapat kebenaran universal. Demikian juga para penganut relativisme menyatakan bahwa tidak ada prinsip moral yang tepat secara universal. Ethical Relativism dapat dibagi menjadi ‘conventionalism’, yang membantah bahwa etika atau prinsip moral yang ada hanya benar pada pada budaya yang berkaitan dan pada kurun waktu tertentu. Dan ada pula ‘subjectivism’ yang melihat pilihan individu adalah kunci dalam menentukan prinsip moral yang tepat bagi individu tersebut.

Berdasarkan ‘conventional’ relativisme etis merupakan standar bagi masyarakat untuk menjelaskan bahwa perilaku moral dan standar etika adalah diatur dan bukanlah suatu yang absolut, namun didasari untuk mengatur suatu masyarakat pada suatu waktu. Permasalahan dari pandangan ini adalah bagaimana kita menentukan etika – etika sosial dalam rangka menyesuaikannya dengan masyarakat yang ada. Maka dari itu terdapat standar khusus dalam sebuah masyarakat, dalam sebuah kelompok, dan juga standar bagi profesi tertentu.

Dalam masing – masing kelompok yang berbeda cenderung memiliki standar moral yang berbeda dalam perilaku yang diterima dan kita memiliki batasan untuk berperilaku berbeda berdasarkan waktu, kapan, dan dimana kita berada. Dalam masing – masing negara memiliki standar moral dan etis yang berbeda, sehingga kita haru mampu beradaptasi.
3.5 Ethical Objectivism
Pandangan ini merupakan kebalikan dari ethical relativism. Dalam ethical objectivism menyatakan bahwa walaupun prinsip moral berbeda – beda berdasarkan budaya tertentu, beberapa prinsip moral memiliki kebenaran universal walaupun tidak diketahui secara universal. Ada dua kunci dalam ethical objectivism yaitu ‘kuat’ dan ‘lemah’. Etika obyektif yang kuat disebut ‘absolutism’ yang membantah bahwa terdapat satu buah sistem moral yang benar. Etika obyektif yang lemah beranggapan bahwa terdapat ‘core morality’ atau ‘moralitas inti’ dari sebuah prinsip moral universal.
3.6 Kata Penutup
Dapat kita lihat bahwa teori – teori etika ini masing banyak diperdebatkan dan belum ada sebuah prinsip yang menentukan mana yang etis mana yang tidak. Meskipun demikian perhatian pada etika telah diperkenalkan secara eksplisit pada teori dan strategi organisasi selama beberapa tahun terakhir. Hal ini mengarah pada meningkatnya ketertarikan organisasi maupun perusahaan dalam hal Corporate Social Responsibility.
4 The Gaia Hypothesis
Ketika teori – teori tentang organisasi mengembangkan gagasan tentang tanggung jawab yang lebih besar pada pemangku kepentingan ditahun 1970-an, pengembangan lainnya juga terjadi secara paralel. Pada tahun 1979 Lovelock melahirkan Gaia Hypothesis yang menawarkan sebuah model yang berbeda dari planet bumi. Dalam modelnya ini, keseluruhan yang ada di bumi, dan semua kehidupan di dalamnya, bergantung pada beragam pola dan bentuk yang menjadi sebuah  sistem yang lengkap dan saling melengkapi.

Berdasarkan hipotesisnya, sistem ini dan seluruh komponen yang ada dalam sistem tersebut semuanya saling bergantung dan saling dibutuhkan untuk menjaga bumi sebagai kapabilitas planet untuk melakukan keberlangsungan hidupnya. Hipotesis Gaia ini merupakan pandangan radikal dari teori liberal klasik yang menyatakan bahwa tiap entitas adalah bebas dan oleh karena itu mereka konsentrasi dalam mencari kepuasan pribadi tanpa memedulikan entitas lain. Teori Liberal Klasik ini melihat dari sudut pandang ekonomi dimana banyak perusahaan maupun individu yang hanya memedulikan kepentingan pribadinya. Sedangkan hipotesis Gaia mengimplikasikan bahwa terdapat ketergantungan dan hubungan antara entitas yang ada di bumi.

Hipotesis Gaia menjelaskan bahwa organisme yang ada di bumi memiliki saling ketergantungan dan ini penting untuk diketahui bahwa kegiatan yang dilakukan satu organisme dapat memengaruhi organisme lain dan juga berdampak pada dirinya sendiri. Hal ini dapat dikembangkan pada perilaku organisasi yang memiliki aktivitas ekonomi dalam masyarakat modern. Selama perusahaan fokus pada perhatiannya meningkatkan profit d an juga peduli pada lingkungannya, kesimpulan logisnya adalah organisasi mampu menjaga keberlangsungan lingkungannya berdasarkan perilakunya dalam selalu meningkat profit organisasi.

Walaupun tidak realistis untuk menyatakan bahwa hipotesis Gaia memiliki dampak yang signifikan pada perilaku organisasi, namun terlihat bahwa terdapat perhatian khusus dari para pelaku bisnis pada sosial yang kemudian akan mengarah pada kepedulian terhadap lingkungan.
5 Perilaku Perusahaan
Perilaku perusahaan sangatlah dibutuhkan dalam rangka kesuksesan secara finansial maupun kepedulian terhadap hubungan antara perusahaan dengan pemangku kepentingan. Dalam perilaku perusahaan terdapat aturan legal, kode etik dari tingkah laku, dan prinsip tanggung jawab sosial. Dengan kata lain, perilaku perusahaan berdasarkan komponen tersebut dan berkaitan dengan hukum, etika, serta CSR.

Perilaku perusahaan berdampak tidak hanya pada para pemangku kepentingan, namun juga keseluruhan ekonomi perusahaan. Ketika perusahaan bertindak secara etis dan bertanggung jawab secara sosial dalam keputusan bisnisnya serta perencanaan strateginya, maka perusahaan tersebut akan lebih mampu bertahan.


6 CSR, Etika, dan Perilaku Perusahaan
Caroll (1979: 500) menjelaskan CSR dalam kalimat: “Tanggung jawab sosial dari sebuah bisnis mencakup ekonomi, legalitas, etika, dan kebebasan berekspektasi masyarakat dari perusahaan yang diberikan pada suatu waktu”. Setelah definisi tersebut, di tahun 2002 Whetten mendefinisikan CSR sebagai “ekspektasi sosial dari perilaku perusahaan, sebuah perilaku yang dinyatakan oleh pemangku kepentingan untuk dapat diharapkan oleh masyarakat atau secara moral dibutuhkan dan maka dari itu secara adil dituntut oleh sebuah bisnis”.

Perilaku perusahaan kepada para pemangku kepentingan menjadi sangat penting karena hal ini berkaitan dengan hukum legal, dan haruslah etis, dan juga mampu bertanggung jawab pada perilaku untuk sebuah organisasi, pemangku kepentingan, dan masyarakat. Untuk dapat menjadi sebuah perusahaan yang bertanggung jawab secara sosial, dibutuhkan sebuah legalitas dan orang – orang yang memiliki etika juga. CSR tidak selalu harus legal, menjadikannya legal adalah sebuah kewajiban. Walaupun begitu, sebuah perusahaan harus tetap memiliki tanggung jawab sosial walaupun belum memiliki legalitas (Aras dan Crowther 2008).
7 Reputasi Perusahaan
Sebuah konsep yang sama pentingnya bagi perusahaan adalah reputasi. Pada awal abad 21 memunculkan sebuah tantangan baru bagi perusahaan bahwa sebuah perusahaan haruslah memahami potensi dari brand perusahaan tersebut. Reputasi perusahaan merupakan faktor terpenting dalam persaingan antar perusahaan dan dapat disamakan dengan kesuksesan finansial juga kesuksesan sosial.

Banyak keuntungan yang ddiperoleh perusahaan ketika perusahaan tersebut memerhatikan reputasinya. Beberapa keuntungan yang bisa dilihat adalah meningkatnya nilai kepercayaan para pemegang saham, dan kuatnya reputasi perusahaan dapat menambah kepercayaan juga bagi calon investor yang kemudian akan menjadi sebuah nilai tambah bagi menguatnya nilai perusahaan di pasar. Bagi konsumen, reputasi juga akan meningkatkan kesetiaan mereka untuk menggunakan produk dari perusahaan tersebut. Dengan kuatnya reputasi perusahaan, akan dapat berpengaruh pada tingkat kerjasama dengan perusahaan lain.

Moral karyawan pun akan naik seiring dengan reputasi perusahaan yang semakin bagus. Dengan reputasi yang bagus, dapat menjadi sebuah pelindung bagi perusahaan ketika mengalami krisis dan mendapat kritikan juga cercaan dari masyarakat, dengan adanya reputasi dan kepercayaan konsumen terhadap perusahaan maka dengan mudah perusahaan akan mengkomunikasikannya dengan masyarakat.
8 Kesimpulan
Etika perilaku dan etika bisnis berdampak tidak hanya pada pemangku kepentingan, dan pemegang saham namun juga berdampak pada keseluruhan ekonomi. Ketika kita bersikap etis dalam proses pembuatan keputusan bisnis, maka hal ini pasti akan lebih efektif dan produktif. Perilaku perusahaan berdampak pada tanggung jawab dan peningkatan ekonomi serta institusi yang tepat. Hal ini juga akan berdampak pada sosial dan keuntungan umum.

9 Referensi
  • Aras, G (2006), “The Ethical Issues in the Finance and Financial Markets”, in Globalization and Social Responsibility, Eds. David Crowther & Krymet Caliyurt, Cambridge Scholar Press.
  • Aras G & Crowther D (2008); The Social Obligation  of Corporations; Journal of Knowledge Globalisation 1(1), 43-59
  • Caroll, A. B. (1979). A Three-dimensional conceptual model of corporate social perfomance; Academy of Management Review, 4, 497-505.
  • Fisher, J. (2004) Social Responsibility and Ethics: Clarifying the Concepts, Journal of Business Ethics 52: 391-400.
  • Friedman, M. (1962), Capitalism and Freedom, Chicago: University of Chicage Press
  • Joyner, B.E., D. Payne (2002), Evolution and Implementation: A Study of Values, Business Ethics and Corporate Social Responsibility, Journal of Business Ethics 41: 297-311, 2002.
  • Lovelock J (1979); Gaia; Oxford; Oxford University Press.
  • Whetten, D. A., Rands, G.,& Godfrey, P. (2002). What are the responsibilities of business to society? In A. Pettigrew, H. Thomas,&R. Whittington (Eds), Handbook of strategy and management (pp. 373-408). London: Sage.

Bacaan lain
  • Bhattacharya C B & Sen S (2004); Doing Better at Doing Good: when, why, and how consumers respond to corporate social initiatives. California Management Review, 47(1): 9-24)
  • Clarkson M B E (1995)l A stakeholder framework for analysing and evaluating corporate social performance; Academy of Management Review, 20(1), 92-117
  • Joyner B E & Payne D (2002): Evolution and Implementation: A study of Values, Business Ethics and Corporate Social Responsibility; Journal of Business Ethics, 41, 297-311
  • Kell G (2003); The Global Compact: Origins, Operations, Progress, Challenge; Journal of Corporate Citizenship, 11, 35-49
*) Disusun oleh :
Fendi R. Widianto, Widya candra, Ine karlina, Sri Hidayati

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Komunikasi Lintas Budaya (Makalah)

JENIS CITRA (Frank Jeffkins)

Cara Membuat Kerajinan Dari Tanah Liat