Pendekatan Fenomenologi dalam Penelitian Kualitatif
Pendekatan Fenomenologi dalam Penelitian Kualitatif
Pengantar
Pendekatan fenomnologi merupakan
tradisi penelitian kualitatif yang berakar pada filosofi dan psikologi, dan
berfokus pada pengalaman hidup manusia (sosiologi). Pendekatan fenomenologi
hampir serupa dengan pendekatan hermeneutics yang menggunakan pengalaman
hidup sebagai alat untuk memahami secara lebih baik tentang sosial budaya,
politik atau konteks sejarah dimana pengalaman itu terjadi. Penelitian ini akan
berdiskusi tentang suatu objek kajian dangan memahami inti pengalaman dari
suatu fenomena.
Penulis mengkaji secara mendalam
isu sentral dari struktur utama suatu objek kajian dan selalu bertanya "apa
pengalaman utama yang akan dijelaskan informan tentang subjek kajian penelitian".
Penulis memulai kajiannya dengan ide filosofikal yang menggambarkan tema utama.
Translasi dilakukan dengan memasuki wawasan persepsi informan, melihat
bagaimana mereka melalui suatu pengalaman, kehidupan dan memperlihatkan
fenomena serta mencari makna dari pengalaman informan.
Konsep Dasar
Peneliti dalam pandangan
fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap
orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. Sosiologi fenomenologis pada
dasarnya sangat dipengaruhi oleh pandangan Edmund Husserl dan Alfred Schultz.
Pengaruh lainnya berasal dari Weber yang memberi tekanan pada verstehn, yaitu
pengertian interpretatif terhadap pemahaman manusia. Fenomoenologi tidak
berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang
diteliti oleh mereka.
Inkuiri fenomenologis memulai
dengan diam. Diam merupakan tindakan untuk mengungkap pengertian sesuatu yang
sedang diteliti. Yang ditekankan oleh kaum fenomenologis adalah aspek subjektif
dari perilaku orang. Mereka berusaha untuk masuk kedalam dunia konseptual para
subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan
bagaiamana suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka di sekitar peristiwa
dalam kehidupannya sehari-hari. Para fenomenolog percaya bahwa pada makhluk
hidup tersedia pelbagai cara untuk menginterpretasikan pengalaman melalui
interaksi dengan orang lain, dan bahwa pengertian pengalaman kitalah yang
membentuk kenyataan.
Konstruk penelitian
Ada pelbagai cabang penelitian
kualitatif, namun semua berpendapat sama tentang tujuan pengertian subyek
penelitian, yaitu melihatnya dari “sudut pandang mereka”. Jika ditelaah
secara teliti, frase “dari segi pandang mereka” menjadi persoalan.
Persoalannya adalah “dari segi pandang mereka” bukanlah merupakan
ekspresi yang digunakan oleh subyek itu sendiri dan belum tentu mewakili cara
mereka berpikir. “Dari segi pandangan mereka” adalah cara peneliti
menggunakannya sebagai pendekatan dalam pekerjaannya. Jadi, “dari segi
pandangan mereka” merupakan konstruk penelitian. Melihat subyek dari segi
ini hasilnya barangkali akan memaksa subyek tersebut mengalami dunia yang asing
baginya.
Sebenarnya upaya mengganggu dunia
subyek oleh peneliti bagaimanapun perlu dalam penelitian. Jika tidak, peneliti
akan membuat tafsiran dan harus mempunyai kerangka konsep untuk menafsirkannya.
Peneliti kualitatif percaya bahwa mendekati orang dengan tujuan mencoba
memahami pandangan mereka dapat menghalangi pengalaman subyek.
Bagi peneliti kualitatif terdapat
perbedaan dalam (1) Derajat mengatasi masalah metodologis/konseptual ini dan
(2) cara mengatasinya. Sebagian peneliti mencoba melakukan “deskripsi
fenomenologis murni”. Di pihak lain, peneliti lainnya kurang memperdulikan dan
berusaha membentuk abstraksi dengan jalan menafsirkan data berdasarkan “segi
pandangan mereka”. Apapun posisi seorang peneliti, yang jelas ia harus
menyadari persoalan teoretis dan isu metodologis ini.
Orientasi Fenomenologis
Peneliti kualitatif cenderung
berorientasi fenomenologis, namun sebagian besar diantaranya tidak radikal,
tetapi idealis pandangannya. Mereka memberi tekanan pada segi subjektif, tetapi
mereka tidak perlu menolak kenyataan adanya “di tempat sana”, artinya mereka
tidak perlu mendesak atau bertentangan dengan pandangan orang yang mampu
menolak tindakan itu. Sebagai gambaran diberikan contoh, misalnya guru mungkin
percaya bahwa ia mampu menembus dinding bata, tetapi untuk mencapainya
memerlukan pemikiran.
Hakikatnya, batu itu keras
ditembus, namun guru itu tidak perlu merasakan bahwa ia tidak mampu berjalan
menembus dinding itu. Peneliti kulaitatif menekankan berpikir subyektif karena,
sebagai yang mereka lihat, dunia di dominasi oleh subyek yang kurang keras
dbandingkan dengan batu. Manusia kurang lebih sama dengan ‘mesin kecil’ yang
dapat melakukan sesuatu. Kita hidup dalam imajinasi kita, lebih banyak berlatar
simbolik daripada konkret.
Interaksi Simbolik
Bersamaan dengan perspektif
fenomenologis, pendekatan ini berasumsi bahwa pengalaman manusia ditengahi oleh
penafsiran. Objek, orang, situasi, dan peristiwa tidak mempunyai pengertiannya
sendiri, sebaliknya pengertian itu diberikan untuk mereka.
Misalnya seorang teknolog
pendidikan mungkin menentukan proyektor 16 mm sebagai alat yang akan digunakan
ole guru untuk memperlihatkan film-film yang relevan dengan tujuan pendidikan; seorang guru
barangkali menetapkan penggunaan proyektor tersebut sebagai alat rekreasi untuk
siswa apabila ia kehabisan bahan pelajaran sewaktu mengajar atau apabila ia
sudah letih. Pengertian yang diberikan orang pada pengalaman dan proses
penafsirannya adalah esensial serta menentukan dan bukan bersifat kebetulan
atau bersifat kurang penting terhadap pengalaman itu.
Untuk memahami perilaku, kita
harus mamahami definisi dan proses pendefinisiannya. Manusia terikat secara
aktif dalam menciptakan dunianya sehingga dengan demikian ia mengerti akan
pemisahan antara riwayat hidup dengan masyarakat yang merupakan sesuatu yang
essensial. Manusia tidak dapat bertindak atas dasar respon yang telah
ditentukan terlebih dahulu untuk mempradefinisikan obyek, tetapi lebih sebagai
penafsiran, pendefinisian, “hewan simbolik” yang perilakunya hanya dapat
dipahami dengan jalan peneliti memasuki proses definisi melalui metode seperti
pengamatan-berperan serta.
Penafsiran bukanlah tindakan
bebas dan bukan pula ditentukan oleh kekuatan manusia atau bukan. Orang-orang
menafsirkan sesuatu dengan bantuan orang lain seperti orang-orang pada masa
lalu, penulis, keluarga, pemeran di televisi, dan pribadi-pribadi yang
ditemuinya dalam latar temapt mereka bekerja atau bermain, namun orang lain
tidak melakukannya untuk mereka. Melalui interaksi seseorang membentuk
pengertian.
Orang dalam situasi tertentu
(misalnya mahasiswa dalam ruang kuliah terrtentu) sering mengembangkan definisi
bersama (atau “perspektif bersama” dalam bahasa interaksi-simbolik) karena
mereka secara teratur berhubungan dan mengalami pengalaman bersama, masalah,
dan latar belakang, tetapi kesepakatan tidak merupakan keharusan. Di pihak
lain, sebagian memegang “definisi bersama” untuk menunjuk pada “kebenaran”,
sautu pengertian yang senantiasa dapat disepakati. Hal itu dapat dipengaruhi
oleh orang yang melihat sesuatu dari sisi yang lain.
Bila bertindak atas dasar
definisi tertentu, sesuatu barangkali tidak akan baik bagi seseorang. Biasanya
pada seseorang ada masalah, dan masalah itu dapat membentuk definisi baru,
dapat meniadakan yang lama, dengan kata lain apat berubah. Bagaimana definisi
itu berubah atau berkembang merupakan pokok persoalan yang akan diteliti.
Jadi, penafsiran itu esensial.
Interaksi simbolik menjadi paradigma konseptual melebihi “dorongan dari dalam”,
“sifat-sifat pribadi”, “motivasi yang tidak disadari”,”kebetulan”, “status
sosial ekonomi”, “kewajiban peranan”, “resep budaya”, “mekanisme pengawasan
masyarakat”, atau lingkungan fisik lainnya. Faktor-faktor tersebut sebagian
adalah konstrak yang digunakan para ilmuwan sosial dalam usahanya untuk
memahami dan menjelaskan perilaku.
Para interaksionis simbolik tidak
menolak kenyataan bahwa konsep teoretik tersebut mungkin bermanfaat. Namun, hal
itu hanya relevan untuk memahami perilaku sepanjang hal itu memasuki atau
berpengaruh terhadap proses pendefinisian.
Penganjur teori ini tidak boleh
menolak adanya kenyataan bahwa terdapat adanya dorongan untuk makan dan bahwa
ada definisi kultural tentang bagaimana, apa, dan bilamana seseorang harus
makan. Bagaimanapun, mereka harus menolak apabila dikatakan bahwa makan hanya
dapat di-pahami dalam kerangka definisi kebudayaan dan dorongan. Makan dapat
dipahami dengan melihatnya pada saling kaitan antara bagaimana orang
mendefinisikan makan dan situasi khusus dimana mereka dapat memperolehnya.
Makan dapat didefinisikan dengan
beberapa cara yang berbeda, yaitu proses dialami secara berbeda, dan
orang-orang menampakkan perilaku berbeda apabila sedang makan dalam situasi
yang berbeda. Guru di sekolah mendefinisikan kapan waktu yang tepat untuk
makan, apa yang dimakan, bagaimana cara makan yang berbeda antara siswa yang
satu dengan yang lainnya pada tempat yang sama.
Makan siang bisa berarti
istirahat karena bekerja, gangguan yang menjengkelkan, kesempatan untuk
melakukan pekerjaan pokok, waktu untuk diet, atau kesempatan memperoleh jawaban
terhadap pertanyaan ujian. Makan bagi orang lain misalnya dapat merupakan tonggak
dalam perkembangan hidupnya.
Makan disini dinyatakan
signifikan dengan jalan menyediakan peristiwa bagi seseorang untuk dapat
mengukur apa yang sudah atau belum tercapai, berapa hari ia masih dapat
bertahan, atau secepatnya seseorang akan terpaksa mengakhiri hari yang
menyenangkan.
Dari gambaran di atas dapat
dilihat bahwa makan siang mempunyai makna simbolik, dan konsep seperti dorongan
dan ritual tidak berlaku. Teori itu tidak menolak bahwa ada aturan dan
keteraturan, nilai, dan sistem nilai dalam masyarakat. Hal itu menjadi penting
dalam memahami perilaku hanya jika orang mempertimbangkannya.
Selanjutnya disarankan bahwa
bukan aturan, keteraturan, norma, atau apa saja yang penting untuk memahami
perilaku, melainkan bagaimana hal-hal itu didefinisikan dan digunakan dalam
situasi-situasi khusus. Sekolah menengah mungkin memiliki sistim penilaian,
susunan organisasi, jadwal kelas, kurikulum, dan motto resmi yang menyarankan
tujuan pokok untuk “mendidik keseluruhan pribadi”.
Manusia bertindak bukan atas dasar
apa yang diwajibkan oleh sekolah itu
atau apa yang seharusnya dari sekolah itu atau menurut apa yang dikatakan oleh
administrator, melainkan atas dasar bagaimana mereka memandang hal itu. Untuk
sebagian, sekolah menengah itu merupakan tempat untuk bertemu dengan
teman-temannya, atau malah tempat untuk memperoleh derajat yang lebih tinggi
bagi sebagian siswa, sekolah merupakan tempat untuk memperoleh nilai dan
mengumpulkan kredit sehingga mereka bisa lulus.
Jadi, terakhir, mereka
mendefinisikan tugas sebagai acuan ke perguruan tinggi atau memperoleh
pekerjaan. Mereka mendefinisikan tindakannya walaupun ada aturan dan sistem
kredit yang membawa pengaruh terhadap perilakunya. Organisasi-organisasi
bervariasi dalam hal menyediakan pengertian yang pasti dan dalam hal bahwa
alternatif pengertian tersedia dan diciptakan.
Bagian lainnya yang penting dari
teori interaksi simbolik ialah konstrak tentang “diri”. Diri itu tidak dilihat
sebagai yang berada dalam individu seperti “aku” atau “kebutuhan yang teratur”,
“motivasi”, dan “norma” seperti “nilai” dari dalam.
Diri adalah definisi yang
diciptakan orang (melalui interaksi dengan lainnya) di tempat ia berada. Dalam
mengkonstrak atau mendefinisikan aku, manusia mencoba melihat dirinya sebagai
orang lain, melihatnya dengan jalan menafsirkan tindakan dan isyarat yang
diarahkan kepada mereka dengan jalan menempatkan dirinya dalam peranan orang
lain. Dengan singkat, kita melihat diri kita sendiri sebagai bagian dari orang
lain melihat kita. Jadi, diri itu juga merupakan konstruk sosial, yaitu hasil
persepsi seseorang terhadap dirinya dan kemudian mengembangkan definisi melalui
proses interaksi.
Cara ini memberi kesempatan bagi
orang untuk bertumbuh dan berubah sepanjang mereka lebih banyak belajar tentang
dirinya melalui proses interaksi tersebut. Cara konseptualisasi diri ini telah
mengarah pada penelitian tentang self-fullfiling prophecy dan menyediakan latar
belakang tentang apa yang dinamakan labelling approach terhadap perilaku
seseorang.
Fenomenologi dan Kebudayaan
Banyak antropolog menggunakan
pendekatan fenomenologi dalam studi mereka tentang pendidikan. Kerangka studi
antropologisnya adalah konsep kebudayaan. Usaha untuk menguraikan kebudayaan
atau aspek-aspek kebudayaan dinamakan etnografi. Walaupun diantara mereka
kurang sependapat tentang definisi kebudayaan, mereka memandang kebudayaan
sebagai kerangka teoretis dalam menjelaskan pekerjaan mereka.
Beberapa definisi membantu
memperluas penelitian kita tentang bagaiaman hal itu mempertajam penelitian.
Beberapa antropolog mendefinisikan kebudayaan sebagai pengetahuan yang
diperoleh manusia dan digunakan untuk menafsirkan pengalaman dan memberikan
perilaku (Spradley, 1908:5 dalam Bogdan dan Biklen:35).
Untuk menggambarkan kebudayaan
menurut perspektif ini, seorang peneliti mungkin dapat memikirkan sesuatu
peristiwa menurut cara sebagai berikut: Sebaiknya etnografi mempertimbangkan
perilaku manusia dengan jalan menguraikan apa yag diketahui mereka yang
membolehkan mereka berperilaku secara baik sesuai dengan common sesnse dalam
masyarakatnya.
Peneliti dalam tradisi ini
mengatakan bahwa etnografi berhasil jika mendidik pembaca bagaimana sebaiknya
berprilaku dalam suatu latar kebudayaan, apakah itu di antara keluarga-keluarga
masyarakat hitam, di kantor kepala sekolah, atau di kelas taman kanak-kanak.
Definisi lainnya tentang
kebudayaan memberi tekanan pada semantik dan menganjurkan bahwa ada perbedaan
antara mengetahui perilaku dan bahasa khas sekelompok orang dan yang dapat
melakukannya sendiri. Menurut perspektif ini, kebudayaan tampaknya agak rumit
dan berbeda penekanannya. Dalam hal ini, tekanannya pada interaksi antara
kebudayaan dan pengertian yang diberikan orang terhadap peristiwa-peristiwa.
Dengan demikian, orientasi fenomenologis di sini menjadi jelas.
Etnografi dikenal dengan “uraian
tebal” (thick description). Yang ditemui etnograf jika menguji kebudayaan
menurut perspektif ini ialah suatu seri penafsiran terhadap kehidupan,
pengertian, “akal sehat” yang rumit dan sukar dipisahkan satu dari lainnya.
Tujuan etnografi adalah mengalami
bersama pengertian bahwa pemeran serta kebuadayaan memperhitungkan dan
menggambarkan pengertian baru untuk pembaca dan orang luaran. Konsep kebudayaan
terakhir diambil dari Rosalie Wax (1971, dalam Bogdan dan Biklen:36). Wax mendiskusikan
tugas etnografi dalam rangka pengertian.
Pengertian bukanlah berupa
“empati yang misterius” di antara orang-orang, melainkan suatu kenyataan dari
“Pengertian yang dialami bersama” (shared meaning). Dengan demikian antropolog
mulai dari luar, baik secara harfiah
dalam rangka penerimaan sosialnya maupun secara kiasan dalam rangka pengertian.
Suatu penelitian etnografis tentang kelas taman kanak-kanak menguji bagaimana
anak-anak yang memasuki sekolahnya menjadi orang dalam, yaitu bagaimana mereka
mempelajari kebudayaan sekolahnya dan mengembangkan respons yang tepat terhadap
gurunya dan harapan-harapan kelas.
Dalam kerangka kebudayaan, apapun
definisi khususnya, kebudayaan merupakan alat organisatoris atau konseptual
untuk menafsirkan data yang berarti dan yang memberi ciri pada etnografi.
Prosedur etnografi, apakah sama atau identik dengan pengamatan-berperanserta,
percaya akan adanya prbedaaan kosa-kata dan telah berkembang dalam kekhasan
akademis yang berbeda. Sekarang ini peneliti telah menggunakan istilah
etnografi untuk menunjuk pada setiap studi kualitatif, ada beberapa kenyataan
yang menunjukkan bahwa sosiolog dan antropolog makin saling mendekat dalam hal
melakukan penelitian dan orientasi teoretis yang mendasari pekerjaan
mereka.Spradley (1980) sebagai antropolog terkenal menyatakan bahwa konsep
kebudayaan sebagai pengetahuan yang dicapai mempunyai ciri umum yang sama
dengan interaksi simbolik.
Etnometodologi
Etnometodologi bukanlah metode
yang digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data, melainkan menunjuk pada
mata pelajaran yang akan diteliti. Etnometodologi adalah studi tentang
bagaimana individu menciptakan dan memahami kehidupannya sehari-hari –
metodenya untuk mencapai kehidupan sehari-hari. Subyek etnometodologi bukanlah
anggota suku-suku terasing, melainkan orang-orang alam pelbagai macam situasi
dalam masyarakat kita. Etnometodolog berusaha memahami bagaimana orang-orang
mulai melihat, menerangkan, dan menguraikan keteraturan dunia tempat mereka
hidup.
Sejumlah orang berpendidikan telah
dipengaruhi oleh pendekatan ini. Pekerjaan mereka kadang-kadang sukar
dipisahkan dari pekerjaan peneliti kualitatif lainnya; mereka cenderung
melakukan pekerjaan-pekeraan tentang isu yang bersifat mikro, dengan
pengungkapan dan kosakata khusus, dan dengan tindakan yang mendetail dan dengan
penuh pengertian. Peneliti demikian menggunakan istilah-istilah “pengertian
common sense”. “kehidupan sehari-hari”, “Penyelesaian sehari-hari”, “dasar
melembaga untuk tindakan sosial”, dan “memperhitungkan”.
Menurut para etnometodolog,
penelitian bukanlah merupakan usaha ilmiah yag unik, melainkan lebih merupakan
“penyelesaian praktis”. Mereka menyarankan agar kita melihat secara hati-hati
pada pengertian common sense tempat kita mengumpulkan data dilakukan. Mereka mendorong
peneliti untuk bekerja dengan cara kualitatif untuk lebih peka terhadap
kebutuhan tertentu menurut mereka atau menangguhkan asumsi mereka tentang
common sense, pandangan mereka sendiri, daripada mempertimbangkannya.
Sumber utama:
Moleong, Lexy J, Dr. Metodologi
Penelitian Kualitatif. 1993. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Komentar
Posting Komentar